Citra dipandang sebagai suatu variabel penting yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan pemasaran. Citra sangat penting bagi organisasi apapun, karena kemampuan citra untuk mempengaruhi persepsi konsumen tentang barang dan jasa yang ditawarkan (Zeithaml dan Bitner, 1996). Sebagai akibatnya, citra mempengaruhi perilaku beli konsumen sehubungan dengan produk dan jasa suatu organisasi. Bagian ini membahas konsep dan penelitian yang mendukung arti penting citra.
1. Definisi
Citra, khususnya citra perusahaan dan citra toko, memiliki suatu riwayat penelitian yang panjang dalam literatur pemasaran (Brown dan Dacin, 1997; Zimmer dan Golden, 1998); meskipun demikian, belum ada konsensus tentang definisi citra.
Ditcher (1985) menjelaskan apa yang merupakan citra dan apa yang bukan merupakan citra: “Citra tidak mendeskripsikan ciri atau kualitas individual, namun menggambarkan total kesan yang diciptakan oleh suatu entitas pada pikiran orang lain...suatu citra tidak mengakar hanya pada data dan detail objektif. Ia menjadi konfigurasi dari seluruh bidang objek”
Sementara itu, menurut Normann (1991), “Citra adalah suatu model, yang menyatakan keyakinan-keyakinan dan pemahaman kita tentang suatu fenomena atau situasi”
Roberts (1993) mendefinisikan citra sebagai “Ide atau persepsi umum yang dimiliki publik tentang suatu perusahaan, unit atau produk”
Oleh karena itu, citra dapat diinterpretasi sebagai persepsi-persepsi tentang suatu fenomena, kesan yang disimpan dalam memori. Sebagai konsekuensinya, citra bisa hadir untuk organisasi, produk atau merek dagang apapun.
2. Peran Citra
Menurut Normann (1991), terdapat empat kelompok yang dapat menjadi sasaran citra: kelompok target rekrutmen, personel, pemegang sumber daya lain dan konsumen. Karena riset ini berfokus pada hubungan antara citra, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen, maka pembahasan akan berkonsentrasi pada pengaruh citra kepada konsumen.
Citra mempengaruhi konsumen dalam beberapa cara. Pertama, citra mengkomunikasikan harapan-harapan, bersamaan dengan gerakan-gerakan atau kampanye pemasaran eksternal seperti periklanan, penjualan pribadi, komunikasi dari mulut ke mulut (Gronsroos, 1983). Suatu citra yang positif memfasilitasi (memperlancar) komunikasi efektif perusahaan dengan konsumen dan membuat orang lain lebih berkecenderungan ke arah komunikasi mulut ke mulut yang lebih positif. Sebaliknya, suatu citra negatif tidak memfasilitasi rekomendasi. Oleh karena itu, dalam suatu usaha untuk meminimalkan risiko, para konsumen lebih suka membeli dari penyedia-penyedia barang atau jasa yang memiliki suatu citra yang baik (Heung dkk., 1996).
Kedua, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 di bawah ini, citra, harga, bukti pelayanan, dan titik temu pelayanan (service encounter), kesemuanya merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi seorang konsumen tentang pelayanan (jasa). Citra mempengaruhi persepsi konsumen karena fungsinya sebagai suatu filter operasi perusahaan (Zeithmal dan Bitner, 1996; Gronroos, 1983; Fredericks dan Salter II, 1995). Oleh karena itu, citra dapat menopang atau meruntuhkan persepsi konsumen tentang nilai, kualitas, kepuasan, dan loyalitas (Zeithmal dan Bitner, 1996; Sobol dkk., 1992; Fredericks dan Salter II, 1995). Serupa halnya, atas dasar penelitian dalam industri retail, Urquhart (1996) berpendapat bahwa citra memiliki suatu pengaruh terhadap persepsi konsumen dan karena itu, mempengaruhi preferensi konsumen, pola pembelian dan tingkat kepuasan konsumen. Lebih lanjut, suatu citra positif berfungsi sebagai suatu penyangga (buffer) terhadap terjadinya pelayanan yang buruk. Sebaliknya, suatu citra negatif bisa memperkuat dalih seorang konsumen atas ketidakpuasan dan memperkuat persepsi-persepsi negatif saat terjadi hal-hal yang buruk dalam kegiatan operasional layanan.
Jika kinerja pelayanan memenuhi atau melebihi citra yang dihasilkan, maka ia berfungsi memperkuat citra itu atau bahkan mungkin memperbaikinya. Meskipun demikian, jika kinerja berada di bawah ekspektasi, maka citra akan memudar secara nyata.
Pendek kata, citra merupakan unsur yang penting bagi setiap organisasi karena ia merupakan fondasi bagi perilaku pengambilan keputusan. Oleh karena itu, para konsumen mungkin menggunakan citra perusahaan sebagai isyarat dan/atau panduan yang mewakili dalam proses pengambilan keputusan mereka (Naumann dan Giel, 1995; Callan, 1994).
3. Faktor Penentu Citra
Para peneliti telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang menentukan citra. Sebagai contoh, Normann (1991) berpendapat bahwa citra dibangun dalam pikiran konsumen melalui efek-efek gabungan periklanan, humas (public relation), komunikasi dari mulut ke mulut, dan pengalaman aktual konsumen dengan barang dan jasa yang bersangkutan. Dari faktor-faktor penentu ini, ia menganggap pengalaman konsumen dengan produk dan jasa sebagai faktor yang paling penting dalam pembangunan atau pembentukan citra. Serupa halnya, Gronroos (1983), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3, berpendapat bahwa citra dibentuk oleh kualitas pelayanan (baik kualitas teknis ataupun fungsional), kegiatan-kegiatan pemasaran tradisional (seperti periklanan, humas, dan penetapan harga), dan pengaruh-pengaruh eksternal (seperti tradisi dan komunikasi dari mulut ke mulut). Lebih lanjut, menurut Gronroos (1983), kualitas pelayananlah yang mewakili faktor penentu tunggal yang paling penting dari citra.
Dalam suatu studi tentang citra tujuan wisatawan, Echtner dan Ritchie (1991) berpendapat bahwa citra terbangun menurut kesan-kesan yang diterima dan dipilih dari “sekumpulan besar informasi,” yang mencakup literatur promosi, opini orang lain, dan media umum. Lebih lanjut, citra juga dipengaruhi dan dimodifikasi menurut pengalaman konsumen dengan tujuan wisata itu.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa citra terutama ditimbulkan oleh dua faktor: kualitas barang/jasa dan komunikasi. Lebih lanjut, kualitas barang dan jasa merupakan suatu faktor penting dalam menentukan citra.
4. Dimensi-dimensi Citra
Echtner dan Ritchie (1991), berdasarkan studi-studi yang dilaksanakan tentang citra toko, mengidentifikasi dua dimensi citra, yang mereka definisikan sehubungan dengan dimensi “holistik” dan “atribut”.
Dimensi holistik menunjuk pada gambaran mental seseorang mengenai fenomena sebagai suatu keseluruhan, yang berbeda dengan pengumpulan rangsang-rangsang independen semata (Bitner, 1992). Dengan kata lain, elemen holistik atau imajiner dari citra meliputi kesan total dan perasaan tentang fenomena yang ditimbulkan dari sebagian atau semua indera. Dimensi atribut menunjuk pada fasilitas-fasilitas dan lingkungan fisik yang membentuk dan mempengaruhi fenomena itu (Echtner dan Ritchie, 1991). Kedua elemen holistik dan atribut memiliki karakteristik-karakteristik fungsional dan psikologis. Karakteristik-karakteristik fungsional mencakup ciri-ciri yang dapat diamati dan/atau diukur secara langsung, seperti harga dan layout. Sebaliknya, karakteristik-karakteristik psikologis tidak dapat diukur secara langsung dan mencakup aspek-aspek seperti keramahtamahan dan suasana (Echtner dan Ritchie, 1991).
Citra pada dasarnya memiliki dua dimensi, dengan suatu pertumpang-tindihan yang jelas antara dimensi-dimensi itu. Dimensi holistik didasarkan pada kombinasi dan interaksi atribut-atribut; persepsi atribut-atribut individual pada gilirannya mungkin dipengaruhi oleh kesan-kesan dan perasaan-perasaan umum (holistik). Lebih lanjut, garis pemisah antara karakteristik fungsional dan psikologis tidak dapat didefinisikan secara jelas; misalnya, sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan kebersihan sebuah hotel sebagai atribut fungsional atau psikologis.
Pendek kata, pembahasan ini membawa kepada kesimpulan bahwa citra terdiri dari dimensi atribut dan holistik. Lebih lanjut, atribut-atribut itu bersifat kompleks dan mungkin mencakup fenomena aktual dan fenomena yang dirasakan secara emosional.
5. Temuan-temuan Empiris
Studi-studi tentang hubungan antara citra dan loyalitas konsumen masih relatif terbatas. Tinjauan tentang riset atau penelitian empiris yang dilaksanakan mengungkap tiga studi utama tentang subjek ini.
Pertama, Ostrowsky dkk. (1993) memeriksa isu-isu yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan loyalitas konsumen dalam industri penerbangan. Dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari dua perusahaan angkutan udara, mereka menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan yang signifikan antara citra perusahaan angkutan itu dan preferensi yang dipertahankan (suatu ukuran loyalitas konsumen). Di antara variabel-variabel citra perusahaan pengangkut yang digunakan dalam penelitian ini, reputasi maskapai penerbangan dan kualitas pelayanan konsumen dianggap merupakan variabel yang paling penting untuk kedua maskapai itu.
Kedua, Heung dkk. (1996) meneliti derajat loyalitas nama hotel pada pasar bebas untuk para konsumen mandiri. Studi mereka mengungkap bahwa citra hotel mempertahankan suatu rating (nilai) skor yang relatif tinggi di antara konsumen-konsumen yang loyal. Lebih lanjut, temuan-temuan itu menunjukkan bahwa citra hotel merupakan suatu faktor penting dalam pemilihan hotel di antara para tamu yang loyal.
Terakhir, Mazanec (1995) menyelidiki Self Organising Maps (SOM) untuk analisis penentuan posisi hotel-hotel mewah. Ia melaporkan bahwa citra memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan konsumen dan preferensi konsumen (suatu dimensi loyalitas konsumen). Suatu citra yang diinginkan atau menyenangkan membangkitkan kepuasan konsumen dan preferensi konsumen, sementara citra yang tidak disenangi menimbulkan kekecewaan.