Minggu, 31 Oktober 2010

Citra


            Citra dipandang sebagai suatu variabel penting yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan pemasaran. Citra sangat penting bagi organisasi apapun, karena kemampuan citra untuk mempengaruhi persepsi konsumen tentang barang dan jasa yang ditawarkan (Zeithaml dan Bitner, 1996). Sebagai akibatnya, citra mempengaruhi perilaku beli konsumen sehubungan dengan produk dan jasa suatu organisasi. Bagian ini membahas konsep dan penelitian yang mendukung arti penting citra.

1.      Definisi
            Citra, khususnya citra perusahaan dan citra toko, memiliki suatu riwayat penelitian yang panjang dalam literatur pemasaran (Brown dan Dacin, 1997; Zimmer dan Golden, 1998); meskipun demikian, belum ada konsensus tentang definisi citra.
            Ditcher (1985) menjelaskan apa yang merupakan citra dan apa yang bukan merupakan citra: “Citra tidak mendeskripsikan ciri atau kualitas individual, namun menggambarkan total kesan yang diciptakan oleh suatu entitas pada pikiran orang lain...suatu citra tidak mengakar hanya pada data dan detail objektif. Ia menjadi konfigurasi dari seluruh bidang objek”
Sementara itu, menurut Normann (1991), “Citra adalah suatu model, yang menyatakan keyakinan-keyakinan dan pemahaman kita tentang suatu fenomena atau situasi”
Roberts (1993) mendefinisikan citra sebagai “Ide atau persepsi umum yang dimiliki publik tentang suatu perusahaan, unit atau produk”
Oleh karena itu, citra dapat diinterpretasi sebagai persepsi-persepsi tentang suatu fenomena, kesan yang disimpan dalam memori. Sebagai konsekuensinya, citra bisa hadir untuk organisasi, produk atau merek dagang apapun.

2.      Peran Citra
            Menurut Normann (1991), terdapat empat kelompok yang dapat menjadi sasaran citra: kelompok target rekrutmen, personel, pemegang sumber daya lain dan konsumen. Karena riset ini berfokus pada hubungan antara citra, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen, maka pembahasan akan berkonsentrasi pada pengaruh citra kepada konsumen.
            Citra mempengaruhi konsumen dalam beberapa cara. Pertama, citra mengkomunikasikan harapan-harapan, bersamaan dengan gerakan-gerakan atau kampanye pemasaran eksternal seperti periklanan, penjualan pribadi, komunikasi dari mulut ke mulut (Gronsroos, 1983). Suatu citra yang positif memfasilitasi (memperlancar) komunikasi efektif perusahaan dengan konsumen dan membuat orang lain lebih berkecenderungan ke arah komunikasi mulut ke mulut yang lebih positif. Sebaliknya, suatu citra negatif tidak memfasilitasi rekomendasi. Oleh karena itu, dalam suatu usaha untuk meminimalkan risiko, para konsumen lebih suka membeli dari penyedia-penyedia barang atau jasa yang memiliki suatu citra yang baik (Heung dkk., 1996).
            Kedua, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 di bawah ini, citra, harga, bukti pelayanan, dan titik temu pelayanan (service encounter), kesemuanya merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi seorang konsumen tentang pelayanan (jasa). Citra mempengaruhi persepsi konsumen karena fungsinya sebagai suatu filter operasi perusahaan (Zeithmal dan Bitner, 1996; Gronroos, 1983; Fredericks dan Salter II, 1995). Oleh karena itu, citra dapat menopang atau meruntuhkan persepsi konsumen tentang nilai, kualitas, kepuasan, dan loyalitas (Zeithmal dan Bitner, 1996; Sobol dkk., 1992; Fredericks dan Salter II, 1995). Serupa halnya, atas dasar penelitian dalam industri retail, Urquhart (1996) berpendapat bahwa citra memiliki suatu pengaruh terhadap persepsi konsumen dan karena itu, mempengaruhi preferensi konsumen, pola pembelian dan tingkat kepuasan konsumen. Lebih lanjut, suatu citra positif berfungsi sebagai suatu penyangga (buffer) terhadap terjadinya pelayanan yang buruk. Sebaliknya, suatu citra negatif bisa memperkuat dalih seorang konsumen atas ketidakpuasan dan memperkuat persepsi-persepsi negatif saat terjadi hal-hal yang buruk dalam kegiatan operasional layanan.

Jika kinerja pelayanan memenuhi atau melebihi citra yang dihasilkan, maka ia berfungsi memperkuat citra itu atau bahkan mungkin memperbaikinya. Meskipun demikian, jika kinerja berada di bawah ekspektasi, maka citra akan memudar secara nyata.
            Pendek kata, citra merupakan unsur yang penting bagi setiap organisasi karena ia merupakan fondasi bagi perilaku pengambilan keputusan. Oleh karena itu, para konsumen mungkin menggunakan citra perusahaan sebagai isyarat dan/atau panduan yang mewakili dalam proses pengambilan keputusan mereka (Naumann dan Giel, 1995; Callan, 1994).

3.      Faktor Penentu Citra
            Para peneliti telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang menentukan citra. Sebagai contoh, Normann (1991) berpendapat bahwa citra dibangun dalam pikiran konsumen melalui efek-efek gabungan periklanan, humas (public relation), komunikasi dari mulut ke mulut, dan pengalaman aktual konsumen dengan barang dan jasa yang bersangkutan. Dari faktor-faktor penentu ini, ia menganggap pengalaman konsumen dengan produk dan jasa sebagai faktor yang paling penting dalam pembangunan atau pembentukan citra. Serupa halnya, Gronroos (1983), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3, berpendapat bahwa citra dibentuk oleh kualitas pelayanan (baik kualitas teknis ataupun fungsional), kegiatan-kegiatan pemasaran tradisional (seperti periklanan, humas, dan penetapan harga), dan pengaruh-pengaruh eksternal (seperti tradisi dan komunikasi dari mulut ke mulut). Lebih lanjut, menurut Gronroos (1983), kualitas pelayananlah yang mewakili faktor penentu tunggal yang paling penting dari citra.
            Dalam suatu studi tentang citra tujuan wisatawan, Echtner dan Ritchie (1991) berpendapat bahwa citra terbangun menurut kesan-kesan yang diterima dan dipilih dari “sekumpulan besar informasi,” yang mencakup literatur promosi, opini orang lain, dan media umum. Lebih lanjut, citra juga dipengaruhi dan dimodifikasi menurut pengalaman konsumen dengan tujuan wisata itu.
            Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa citra terutama ditimbulkan oleh dua faktor: kualitas barang/jasa dan komunikasi. Lebih lanjut, kualitas barang dan jasa merupakan suatu faktor penting dalam menentukan citra.

4.      Dimensi-dimensi Citra
            Echtner dan Ritchie (1991), berdasarkan studi-studi yang dilaksanakan tentang citra toko, mengidentifikasi dua dimensi citra, yang mereka definisikan sehubungan dengan dimensi “holistik” dan “atribut”.
Dimensi holistik menunjuk pada gambaran mental seseorang mengenai fenomena sebagai suatu keseluruhan, yang berbeda dengan pengumpulan rangsang-rangsang independen semata (Bitner, 1992). Dengan kata lain, elemen holistik atau imajiner dari citra meliputi kesan total dan perasaan tentang fenomena yang ditimbulkan dari sebagian atau semua indera. Dimensi atribut menunjuk pada fasilitas-fasilitas dan lingkungan fisik yang membentuk dan mempengaruhi fenomena itu (Echtner dan Ritchie, 1991). Kedua elemen holistik dan atribut memiliki karakteristik-karakteristik fungsional dan psikologis. Karakteristik-karakteristik fungsional mencakup ciri-ciri yang dapat diamati dan/atau diukur secara langsung, seperti harga dan layout. Sebaliknya, karakteristik-karakteristik psikologis tidak dapat diukur secara langsung dan mencakup aspek-aspek seperti keramahtamahan dan suasana (Echtner dan Ritchie, 1991).
            Citra pada dasarnya memiliki dua dimensi, dengan suatu pertumpang-tindihan yang jelas antara dimensi-dimensi itu. Dimensi holistik didasarkan pada kombinasi dan interaksi atribut-atribut; persepsi atribut-atribut individual pada gilirannya mungkin dipengaruhi oleh kesan-kesan dan perasaan-perasaan umum (holistik). Lebih lanjut, garis pemisah antara karakteristik fungsional dan psikologis tidak dapat didefinisikan secara jelas; misalnya, sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan kebersihan sebuah hotel sebagai atribut fungsional atau psikologis.
            Pendek kata, pembahasan ini membawa kepada kesimpulan bahwa citra terdiri dari dimensi atribut dan holistik. Lebih lanjut, atribut-atribut itu bersifat kompleks dan mungkin mencakup fenomena aktual dan fenomena yang dirasakan secara emosional.
5.      Temuan-temuan Empiris
            Studi-studi tentang hubungan antara citra dan loyalitas konsumen masih relatif terbatas. Tinjauan tentang riset atau penelitian empiris yang dilaksanakan mengungkap tiga studi utama tentang subjek ini.
            Pertama, Ostrowsky dkk. (1993) memeriksa isu-isu yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan loyalitas konsumen dalam industri penerbangan. Dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari dua perusahaan angkutan udara, mereka menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan yang signifikan antara citra perusahaan angkutan itu dan preferensi yang dipertahankan (suatu ukuran loyalitas konsumen). Di antara variabel-variabel citra perusahaan pengangkut yang digunakan dalam penelitian ini, reputasi maskapai penerbangan dan kualitas pelayanan konsumen dianggap merupakan variabel yang paling penting untuk kedua maskapai itu.
            Kedua, Heung dkk. (1996) meneliti derajat loyalitas nama hotel pada pasar bebas untuk para konsumen mandiri. Studi mereka mengungkap bahwa citra hotel mempertahankan suatu rating (nilai) skor yang relatif tinggi di antara konsumen-konsumen yang loyal. Lebih lanjut, temuan-temuan itu menunjukkan bahwa citra hotel merupakan suatu faktor penting dalam pemilihan hotel di antara para tamu yang loyal.
            Terakhir, Mazanec (1995) menyelidiki Self Organising Maps (SOM) untuk analisis penentuan posisi hotel-hotel mewah. Ia melaporkan bahwa citra memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan konsumen dan preferensi konsumen (suatu dimensi loyalitas konsumen). Suatu citra yang diinginkan atau menyenangkan membangkitkan kepuasan konsumen dan preferensi konsumen, sementara citra yang tidak disenangi menimbulkan kekecewaan.

Nilai (Value)


Nilai produk maupun pelayanan dipercaya sebagai trade off antara benefit (kebanyakan dioperasionalisasikan sebagai kualitas) dan cost/pengorbanan (Grisafffe dan Kumar, 1998; Zeithaml, 1988). Menurut Zeithaml et al., 1998, nilai yang dipersepsikan merupakan penilaian  keseluruhan  yang dilakukan oleh konsumen  terhadap   kegunaan sebuah produk yang didasarkan  pada  persepsi yang diterima.
1.      Definisi
Perusahaan yang mendefinisikan harga biasanya cenderung untuk melihat harga yang didasarkan pada nilai yang dipersepsikan konsumen atas layanan yang diberikan perusahaan. Definisi nilai menurut konsumen dapat dibagi menjadi empat, yaitu: value is low price, value is everything I want in a service, value is the quality I get for the price I pay, dan value is all that I get for all that I give (Zeithaml dan Bitner, 1996).
a.      Nilai adalah harga yang rendah (Value is low price)
Beberapa konsumen mempersamakan nilai dengan harga yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang mereka dapatkan dengan membayar sejumlah uang merupakan hal yang paling menonjol dalam mempersepsikan nilai.
b.      Nilai adalah sesuatu yang saya inginkan untuk sebuah layanan (Value is everything I want in a service).
Dari pada memfokuskan pada sejumlah uang yang dibayarkan, beberapa konsumen menekankan pada manfaat yang mereka terima dari sebuah layanan atau produk sebagai komponen yang penting dari nilai. Untuk mendefinisikan nilai, harga sedikit kurang penting dibandingkan dengan kualitas atau keistimewaan yang sesuai dengan keinginan konsumen.
c.        Nilai adalah kualitas yang saya peroleh untuk harga yang dibayarkan (Value is the quality I get for the price I pay).
Nilai dipandang sebagai sebuah trade off antara sejumlah uang yang dikorbankan dengan kualitas yang mereka peroleh.
d.      Value is all that I get for all that I give.
Akhirnya, nilai dianggap sebagai seluruh manfaat yang diperoleh konsumen yang sebanding dengan keseluruhan pengorbanan yang dikeluarkan.
Menurut model yang dikemukakan Olson (1972) dalam Andreassen dan Lindestad (1997), informasi nilai tergantung pada nilai yang diprediksikan konsumen, nilai yang dipercaya konsumen, dan merupakan isyarat intrinsik dan ektrinsik yang melekat pada produk maupun pelayanan. Nilai  yang diprediksikan   didefinisikan  sebagai tingkat sejauh mana persepsi dan kepercayaan   konsumen  yang disyaratkan  dihubungkan    atau ditunjukkan oleh kualitas  produk. Nilai  yang dipercaya  merupakan  peringkat sejauh mana  seorang konsumen yakin dengan kemampuan untuk   mempersepsikan   secara  akurat dan menduga isyarat-isyarat yang ditampilkan suatu produk atau pelayanan 
Nilai  intrinsic  tidak bisa dirubah   tanpa  merubah karakterstik produk atau pelayanan, sedangkan  nilai-nilai  ektrinsik   berhubungan dengan karaktisistik tersebut tetapi bukan merupakan bagian   dari produk atau pelayannya (seperti corporate  citra). Olson (1972)  dalam Andreassen dan Lindestad (1997) memprediksikan bahwa   isyarat-isyarat  ekstrinsik   memiliki  tendensi yang  lebih besar untuk digunakan   ketika isyarat –isyarat  intrinsik yang tersedia  memiliki  nilai  yang diprediksikan   rendah, nilai yang  dipercaya  rendah   atau  keduanya, dan  tendensi  yang  lebih rendah digunakan   ketika  isyarat isyarat  intrinsik   memiliki  nilai  yang diprediksikan  dan nilai   yang dipercaya tinggi. 
Nilai merupakan  sebuah  variabel   agregat   yang merefleksikan   persepsi  atribut  kualitas  dan merupakan  fungsi harga  yang dipercaya   berpengaruh  terhadap  keputusan transaksi dan kepuasan. Nilai persepsian merupakan harga layanan yang melekat pada kualitas. Menurut Zeithaml et al., (1988) nilai persepsian merupakan keseluruhan pengukuran konsumen terhadap kegunaan suatu produk yang didasarkan pada persepsi mengenai sesuatu yang diterima konsumen dan sesuatu yang dikorbankan/dikeluarkan. Persepsi   konsumen  terhadap  nilai  ini dipengaruhi   oleh   perbedaan  dalam  monetary cost,  non monetary cost, selera konsumen dan karakteristik konsumen (Bolton dan Drew, 1991).
2.     Dimensi Nilai
Nilai merupakan evaluasi keseluruhan terhadap kualitas harga dari attributes service (sifat layanan) dan diukur dengan dua indikator, yaitu: quality driven price dan price driven quality (Andreassen dan Lindestad, 1997).
a.      Quality given price
Merupakan kualitas yang mendorong/merangsang terbentuknya harga sebuah layanan. Dalam arti, jika kualitas sebuah produk atau layanan sangat bagus maka harga yang ditetapkan untuk produk atau layanan tersebut juga sangat tinggi, demikian sebaliknya. Persepsi konsumen juga akan mengikuti konsep ini. Jika kualitas persepsian tinggi, maka harga yang dipersepsikan juga akan tinggi,dan jika kualitas persepsian konsumen terhadap produk atau layanan rendah, harga yang dipersepsikan konsumen untuk produk atau layanan tersebut juga rendah.
b.      Price given quality.
Merupakan harga yang mendorong kualitas layanan. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa apabila harga yang ditetapkan untuk sebuah produk atau layanan tinggi, maka kualitas yang diberikan untuk produk atau layanan tersebut juga harus tinggi.kualitas produk harus baik. Apabila konsumen mempersepsikan harga yang rendah dari suatu produk atau layanan, maka kualitas persepsian konsumen atas produk atau layanan juga akan rendah, demikian pula sebaliknya.
Menurut Bolton dan Drew (1991), dimensi nilai dapat dikonseptualisasikan dengan trade-off antara pengorbanan yang dikeluarkan dengan kenikmatan (benefit) yang diperoleh.
3.     Temuan Empiris
Studi yang dilakukan andreassen dan Lindestad (1997) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh kepuasan konsumen dan citra yang dimediasi oleh nilai dan perceived quality terhadap loyalitas konsumen pada complex service menolak hipotesis yang menyatakan bahwa nilai mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen, dan menerima hipotesis yang menyatakan bahwa citra berpengaruh positif terhadap nilai. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai tidak berpengaruh terhadap kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen secara significant dipengaruhi oleh citra dan kepuasan konsumen, diman pengaruh citra terhadap loyalitas ini juga secara significant dimediasi oleh peran nilai.
Patterson dan Spreng (1997), yang melakukan penelitian mengenai pengaruh nilai dan kepuasan terhadap intensitas pembelian, serta pengaruh nilai yang dimediasi oleh kepuasan konsumen terhadap intensitas pembelian memberikan hasil bahwa nilai dan kepuasan konsumen mempunyai pengaruh positif terhadap intensitas pembelian, dan pengaruh nilai terhadap intensitas pembelian yang dimediasi oleh kepuasan konsumen dapat diterima (significant).

Kualitas Layanan


Tidak seperti kualitas barang yang dapat diukur secara obyektif dengan indikator-indikator keawetan, dan kesempurnaan bentuk, kualitas pelayanan (service quality) adalah konsep abstrak dan sukar dipahami (Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1988). Hal ini dikarenakan adanya empat karakteristik jasa yang unik dan membedakannya dari barang, yaitu intangibility (tidak berujud), inseparability ( tidak terpisah antara produksi dan konsumsi), variability (outputnya tidak terstandar), dan peristability (tidak dapat disimpan), (Kotler, 1997). Oleh sebab itu konsep kualitas layanan secara menyeluruh tidak mudah untuk didefinisikan.

1.      Definisi.
Secara sederhana pengertian kualitas layanan dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara layanan yang diharapkan konsumen dengan layanan yang diterimanya (Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1988). Kualitas layanan dipercaya tergantung dari gap antara kinerja yang diharapkan dan dipersepsikan (Aderson et al., 1994). Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu expected service dan perceived service. Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan harapan konsumen, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal, tetapi sebaliknya jika layanan yang diterima atau dirasakan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas layanan dipersepsikan rendah.

Kualitas persepsian (perceived quality) didefinisikan sebagai pendapat   konsumen mengenai produk yang bermutu tinggi atau superior (Zeithaml,1988).   Menurut   Juran (1988),  kualitas   terdiri dari   2  elemen   pokok  yaitu: 
a.     Sejauh mana  sebuah  produk  atau  service  memenuhi   keinginan  konsumen.
b.     Sejauh mana sebuah produk atau service terbebas dari kekurangan (tidak  sempurna /kurang baik).

Dengan demikian baik tidaknya kualitas layanan bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia layanan, melainkan berdasar pada persepsi konsumen. Persepsi konsumen terhadap kualitas layanan itu sendiri merupakan penilaian menyeluruh konsumen atas keunggulan suatu layanan.

2.      Dimensi kualitas pelayanan.
Zeithaml dan Bitner (2000), menyatakan bahwa perceived service quality merupakan komponen dari kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen merupakan konsep menyeluruh sementara pengukuran kualitas pelayanan difokuskan pada dimensi-dimensi pelayanan iu sendiri. Kualitas pelayanan merupakan evaluasi yang difokuskan pada pengaruh persepsi konsumen terhadap dimensi-dimensi spesifik dari pelayanan. 
SERVQUAL (service quality) merupakan suatu skala multi item yang terdiri dari 22 pertanyaan yang dapat digunakan untuk memahami harapan dan persepsi konsumen terhadap kualitas layanan (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988).Dimensi kualitas melayanan menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988 adalah sebagai berikut:


a.    Reliability (keandalan), yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
b.    Responsiveness (daya tanggap), merupakan keinginan staf untuk membantu para konsumen dan memberikan layanan dengan tanggap.
c.    Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
d.    Emphaty (empati), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para konsumen.
e.    Tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan pegawai, dan sarana komunikasi.

Berbeda dengan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988), Cronin dan Taylor (1992) mengemukakan konsep SERVPERF untuk mengukur kualitas jasa, yaitu kualitas pelayanan secara langsung dipengaruhi oleh persepsi pelanggan terhadap kinerja. Konsep ini didukung oleh beberapa peneliti, yaitu Babakus dan Boller (1992), Carman (1990), dan Teas (1994).

Gronnos dalam Edvarsson, Thomasson dan Ovretveit (1994), mengemukakan tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas layanan, yaitu: berhubungan dengan hasil (outcome related), berhubungan dengan proses (process related), dan berhubungan dengan kesan (image related). Ketiga kriteria tersebut masih dapat dijabarkan menjadi enam unsur, yaitu:

a.    Profesionalisme dan keahlian (professionalisme and skill), Pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasi, dan sumberdaya fisik mempunyai pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk memecahkan masalahmasalah mereka dengan cara yang profesional (kriteria yang berhubungan dengan hasil).
b.    Sikap dan perilaku (attitude and behavior), Pelanggan merasa bahwa para karyawan memperhatikan mereka dan berkepentingan dalam pemecahan masalah-masalah mereka dengan cara-cara yang spontan dan senang hati (kriteria yang berhubungan dengan proses).
c.    Mudah diakses dan fleksibel (accessibility and flexibility). Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi kerja, jam kerja karyawan dan sistem operasinya dirancang dan dioperasionalisasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu dirancang agar dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan (kriteria yang berhubungan dengan proses).
d.    Keandalan dan sifat dapat dipercaya (reliability and trustworthiness). Pelanggan bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya (kriteria yang berhubungan dengan proses).
e.    Menemukan kembali (recovery). Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan, sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan pengendalian situasi dan mencari pemecahan yang tepat (kriteria yang berhubungan dengan proses).
f.     Reputasi dan dapat dipercaya (reputation and credibility). Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya (kriteria yang berhubungan dengan image).


 3. Temuan-temuan empiris.
Kettinger dan Lee (1994), melakukan penelitian tentang perceived service quality dan kepuasan konsumen pengguna jasa informasi. Penelitian ini menggunakan SERVQUAL untuk mendapatkan informasi secara spesifik tentang kepuasan pengguna atas jasa informasi. Hasil penelitiannya mendukung pendapat oliver (1980) yang menyatakan bahwa kepuasan merupakan fungsi diskonfirmasi harapan dan persepsi atas kinerja. Hasil penelitiannya ini menunjukkan bahwa hanya variabel reliability dan emphaty saja yang merupakan prediktor kepuasan konsumen.
Woodside, Frey dan Daly (1989) melakukan penelitian di dua rumah sakit mengenai keterkaitan antara kualitas pelayan, kepuasan pelanggan dan perilaku pembelian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 20 single item kualitas pelayanan terhadap konstruk yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian konsuemen atas kualitas pelayanan berhubungan positif dengan kepuasan jasa pelanggan rumah sakit secara keseluruhan. Kepuasan keseluruhan muncul sebagi variabel moderator antara kualitas pelayanan dan perilaku pembelian kembali, atau akan berpengaruh terhadap loyalitas konsumen.